Minggu, 04 Januari 2009

ketukan kedua

assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

menulis dan mengirimkan surat-surat ini ternyata asyik juga. seolah menjadi hobi tersendiri. mengingatkan saya semasa menjadi aktivis kampus beberapa waktu lalu. dan dengan metode yang hampir sama ketika itu, alhamdulillah tugas-tugas akademik sebagai mahasiswa, ketua bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia dan juga koordinator asisten dosen, dapat terselesaikan. masa lalu seolah mutiara...

mula menyapa, maaf terhatur pertama. tahun baru hijriah dan masehi hampir bersamaan kita masuki. tahun baru, semangat baru. semangat untuk membenahi diri, meng-up grade kapasitas diri, seolah untuk hidup seribu tahun lagi, sembari mempersiapkan bekal pulang ke kampung abadi. dan setelah tulisan pertama saya hadiahkan pada penghujung tahun 2008, maka tulisan kedua ini saya maksudkan sebagai hadiah pembuka tahun 2009.

terlepas dari rasa sedih dan marah atas agresi zionis israel atas tanah dan rakyat palestina, tergurat optimisme yang lebih besar bahwa tantangan besar mulai dari tingkat lokal hingga global yang kita hadapi dari posisi masing-masing adalah sebuah keniscayaan, dan insyaAllah dengan niat tulus ikhlas dan tekad yang sungguh-sungguh, kita pasti mampu menyelesaikan tantangan itu, naik kelas, untuk kemudian berhadapan dengan tantangan yang lebih tinggi lagi.

surat pertama saya mendapat respon yang baik, bahkan lebih dari yang saya perkirakan sebelumnya. syukur, alhamdulillah. namun, memang tak boleh berhenti sampai disitu saja. tulisan itu sendiri saya yakini sebagai cara orang terpelajar dalam menyampaikan pemikiran (dan termasuk perasaan). lebih tertakar, elegan, jelas, dan otentik.

"ketukan kedua" ini saya maksudkan untuk menjawab kembali beberapa respon yang saya terima dari surat pertama saya. dan juga menawarkan solusi atas permasalahan yang timbul.

ada senior menanyakan, konkritnya yang membuat saya trauma. begini. semester lalu saya diminta menandatangani laporan operasional, disitu tertera bahwa yang saya tanda tangani adalah jasa dokter untuk jaga UGD sebesar sepuluh ribu rupiah per hari. untuk tiga bulan. sekitar sembilan ratus ribu. potong PPh 15%. hasilnya? dua ratus lima puluh ribu. kurang dari tiga ribu per hari.

dari situlah saya sadar bahwa pasti ada yang keliru. saya tak terlalu pusing mengenai uang itu. tapi substansi mengenai mengapa bisa terjadi. lagipula, pada posisi ini, saya pikir sistem "kurang memberi jaminan" berhadapan dengan profesi dokter dan tenaga kesehatan lain. penjelasan yang saya dapat dari pengelola adalah dana operasional itu sudah dipotong oleh orang dinas, kepala puskesmas, dan pengelola.

kesadaran ini beruntut terhadap investigasi. ternyata, karena potongan macam ini, uang jasa jaga perawat dan bidan, ikut terpangkas. sudah kecil, makin kecil. padahal saya lihat dan bersama mereka, bekerja melayani masyarakat, pagi, siang, malam. dan saya tahu betapa mereka berdedikasi dan bertanggung jawab dalam tugas.

maka ketika pengelola meminta saya untuk menandatangani laporan operasional semester kedua saya di puskesmas sabbangparu, saya menanyakan, apakah laporan ini dan aplikasinya akan sama dengan semester lalu. jawaban pengelola adalah "ya". reaksi saya, "kalau begitu, tolong diperbaiki. karena saya akan menyetujui keadaan riil. bukan suatu utopia jika anda sedang membahas angka. jika memang anda tak bisa memberi sebagaimana yang tertera saat ini, maka ubah yang tertera disitu. meski sedikit, saya syukuri. demikian pula berapa perawat-perawat saya terima. Allah akan mengganti untuk kami dengan yang lebih baik. saya tidak menuntut idealnya, karena jika bermain ditataran ideal, maka sepuluh ribu per hari itu takkan sepadan, saya hanya menuntut riilnya saja."

ternyata hal itupun tidak bisa dilakukan. tunggu, bukan tidak bisa, tapi belum bisa. memberi sebagaimana yang saya pertanggungjawabkan belum bisa, melaporkan sebagaimana yang saya dapatkan juga belum bisa, jadi? buat saya, menandatangani laporan macam itu adalah tanda persetujuan saya terhadap sistem yang belum betul. jika memang benar, mengapa mesti takut? laporkan saja sebagaimana faktanya.

sejak tugas di puskesmas sabbangparu, selain gaji bulanan yang saya terima, uang transpor jika hadir di acara-acara, dan sebelum pelayanan kesehatan digratiskan masih dapat jasa visite bulanan, dan juga uang jasa medik sebesar 250 ribu, plus uang jaga UGD sebesar 250 ribu yang membangkitkan "awareness" saya. itu saja.

lantas saya menggabungkan pikir dan rasa untuk kemudian menyadari bahwa kita hidup dalam sistem yang "bukannya saling menjaga, malah saling memangsa". itulah istilahnya jika tanpa moderasi. saya belajar bahwa jika sistem tak diperbaiki, maka kerja keras saja tidak cukup untuk memastikan hak atas kerja kita dipenuhi, karena praktik pemotongan anggaran ini.

boleh jadi tidak sulit jika suatu puskesmas hanya punya seorang dokter dan sekaligus sebagai kepala puskesmasnya. toh, dia tahu bagaimana beban kerjanya dan tergantung dia juga bagaimana menghargai kinerja diri beserta stafnya. tapi bagaimana jika lebih dari satu dokter, dan kebetulan bukan sebagai kepala puskesmasnya. nah, bagaimana ini?

dalam praktik terdahulu, saya tahu bahwa kepala puskesmas "berhak" 15% atas dana operasional. tapi bagaimana jika dokter yang notabene di gugus terdepan pelayanan kepada masyarakat, bukan sebagai kepala puskesmas, tiap hari melayani puluhan hingga ratusan warga, kerjanya berhadapan dengan kualitas hidup warganya. kemudian apa hak dokter yang bersangkutan, padahal dia yang paling bertanggungjawab, karena ilmunyalah yang memposisikannya seperti itu.

nah, itu yang kurang. dalam pandangan saya, untuk mencegah timbulnya masalah begini, harusnya diterakan dengan jelas siapa yang berhak, berapa besar, siapa saja yang mengambil, dan laporkan. prinsipnya, "banyak menuai, banyak memetik". jangan sampai petani A menanam, hasilnya malah dinikmati petani B.


saya pun berpikir selain transparansi dan akuntabilitas dalam laporan keuangan yang perlu diperbaiki, penghargaan dan perlindungan terhadap tenaga kesehatan juga hendaknya ditingkatkan. semua ini bukan karena ingin dihargai apalagi gila hormat. toh, dengan pelayanan yang baik, warga memuliakan para pelayan mereka. tapi penjaminan dan perlindungan profesi inilah yang memberi ketenangan dalam bekerja, perasaan nyaman dan dilindungi. perasaan itu kan yang kita perlukan?

di sabbangparu, tempat pertama saya tugas ini, saya merasakan betul bagaimana penghormatan warga. kita takkan menemukan anak muda berusia 24 tahun diciumi tangannya oleh anak-anak hingga kakek-kakek dan nenek-nenek kecuali dalam ruang poli seorang dokter. kadang dipeluk erat, kadang mereka menekuk lutut, melantai, hingga akhirnya diangkat oleh yang dihormatinya, yang sebenarnya pelayan mereka.

padahal jujur saja, komunikasi saya dalam bahasa bugis, sebenarnya agak parah. tapi merekalah yang berlaku seolah sedang berhadapan dengan seorang raja bugis. beberapa kali saya meminta agar mereka tak begitu, karena saya jauh dari pantas untuk mendapatkan penghormatan begitu tinggi. tapi tetap saja.."ah, Ya Allah, ampuni hamba..."

saya mengajak semua pihak untuk berusaha memperbaiki sistem ini. tidak cukup seorang dokter saja untuk mengubahnya. sekali lagi, sifat dari sistem inilah yang harus diperbaiki. kita semua bisa memikirkan solusi dan mencegah masalah lebih berat di kemudian hari. pemerintah pusat hingga daerah hendaknya memberi perhatian lebih kepada profesi kesehatan, karena orang-orang yang berkecimpung dalam bidang inilah yang bertemu langsung dengan manusia, dengan rakyat. lindungi profesi dokter (dokter manapun itu), bidan, perawat, apoteker, dan tenaga-tenaga fungsional dalam bidang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar